Selasa, 09 Oktober 2012

teori hermenutika interaktif





Sebagai salah seorang tokoh filsafat yang memusatkan perhatiannya pada hermeneutika, Paul Ricoeur berpandangan bahwa hermeneutika merupakan suatu teori mengenai aturan-aturan penafsiran terhadap suatu teks atau sekumpulan tanda maupun simbol yang dipandangnya atau dikelompokkan sebagai teks juga. Ricoeur menganggap bahwa tidak ada pengetahuan langsung tentang diri sendiri, oleh sebab itu pengetahuan tentang diri sesungguhnya hanya diperoleh melalui kegiatan penafsiran. Melalui kegiatan ini, setiap hal yang melekat pada diri (yang bisa dianggap sebagai teks) harus dicari makna yang sesungguhnya/objektif agar dapat diperoleh suatu kebenaran (pengetahuan) yang hakiki tentang diri tersebut. 
Hermeneutika bertujuan untuk menggali makna yang terdapat pada teks dan simbol dengan cara menggali tanpa henti makna-makna yang tersembunyi ataupun yang belum diketahui dalam suatu teks. Penggalian tanpa henti harus dilakukan mengingat interpretasi dalam teks bukanlah merupakan interpretasi yang bersifat mutlak dan tunggal, melainkan temporer dan multi interpretasi. Dengan demikian, tidak ada kebenaran mutlak dan tunggal dalam masalah interpretasi atas teks karena interpretasi harus selalu kontekstual dan tidak selalu harus tunggal. Dalam pengertian kontekstual, seorang interpreter dituntut untuk menerapkan her-meneutika yang kritis agar selalu kontekstual. Dalam konteks ini, barangkali inter-preter perlu menyadari bahwa sebuah pemahaman dan interpretasi teks pada dasarnya bersifat dinamis. Sementara itu, dalam pengertian bahwa makna hasil dari interpretasi tidak selalu tunggal mengandung pengertian bahwa suatu teks akan memiliki makna yang berbeda ketika dihubungkan dengan konteks yang lainnya, sehingga akan membuat pengkayaan interpretasi dan makna.
Hermeneutika tidak dimaksudkan untuk mencari kesamaan antara maksud pembuat pesan dan penafsir. Melainkan menginterpretasi makna dan pesan se-objektif mungkin sesuai dengan yang diinginkan teks yang dikaitan dengan konteks. Seleksi atas hal-hal di luar teks harus selalu berada dalam petunjuk teks. Suatu interpretasi harus selalu berpijak pada teks. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses penafsiran selalu merupakan dialog antara teks dan penafsir.
Objektivitas interpretasi dapat dicapai melalui empat kategori metodologis yang meliputi objektivasi melalui struktur, distansiasi melalui tulisan, distansiasi melalui dunia teks, dan apropriasi. Dua yang pertama sangat penting sebagai prasyarat agar teks bisa “mengatakan” sesuatu. Objektivasi melalui struktur adalah suatu upaya yang menunjukkan relasi-relasi intern dalam struktur atau teks, hermeneutika berkaitan erat dengan analisis struktural. Analisis struktural adalah sarana logis untuk menafsirkan teks.
Namun begitu, analisis hermeneutik kemudian melampaui kajian struktural, karena hermeneutika melibatkan berbagai disiplin yang relevan sehingga memungkinkan tafsir menjadi lebih luas dan dalam. Bagaimanapun juga berbagai elemen struktur yang bersifat simbolik tidak bisa dibongkar dengan hanya melihat relasi antar elemen. Oleh sebab itu, penafsiran dalam perspektif hermeneutika juga mencakup semua ilmu yang dimungkinkan ikut membentuknya seperti sejarah psikologi, sosiologi, antropologi dan lain sebagainya. Apabila teks (objek) dipahami melalui analisis relasi antar unsurnya (struktural), maka bidang-bidang lain yang belum tersentuh bisa dipahami melalui bidang-bidang ilmu dan metode lain yang relevan dan memungkinkan. Fenomena tersebut dalam hermeneutika disebut dengan distansi.
Posisi Ricoeur dalam hermeneutika dapat dikategorikan sebagai salah seorang tokoh hermeneutika fenomenologi, seperti halnya Heidegger dan Gadamer. Hermeneutika fenomenologi merupakan suatu teori interpretasi reflektif yang didasarkan pada perkiraan filosofis fenomenologi. Hermeneutika fenomenologi mempertanyakan hubungan subjek-objek, dari pertanyaan tersebut dapat diamati bahwa ide dari objektivitas merupakan sebuah hubungan yang mencakup objek yang tersembunyi. Ricoeur menyatakan bahwa setiap pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan teks yang diinterpretasi adalah sebuah pertanyaan tentang arti dan makna teks. Arti dan makna teks itu diperoleh dari upaya pencarian dalam teks berdasarkan bentuk, sejarah, pengalaman membaca, dan refleksi diri dari inter-preter. Oleh karena itu, setiap teks selalu terbuka untuk diinterpretasi terus-menerus. Meskipun demikian, proses pemahaman dan interpretasi teks bukanlah merupakan suatu upaya menghidupkan kembali atau reproduksi, melainkan sesuatu hal yang bersifat rekreatif dan produktif. Oleh karena, peran subjek sangat menentukan dalam interpretasi teks sebagai pemberi makna, maka subjek sebagai interpreter harus dapat menampilkan keaktualitasan/kekinian kehidupannya sendiri berdasar-kan pesan yang dimunculkan oleh objek yang ditafsirkannya.
Kedudukan subjek yang sangat menentukan dalam pemberi makna (interpreter) menurut Ricoeur nampak juga dalam bidang ilmu budaya. Apa yang dikatakan Ricoeur ternyata nampak pula pada materi kuliah Prof. Bachtiar Alam Phd yang memberikan kuliah perdana Teori Kebudayaan pada program S3 FIB UI, pada kesempatan tersebut Prof. Bachtiar Alam Phd menerangkan mengenai berbagai pengertian kebudayaan, salah satunya adalah mengenai kebudayaan sebagai sesuatu yang diperoleh manusia melalui proses belajar. Proses tersebut seringkali diartikan sebagai “nilai-nilai budaya” yang digunakan manusia untuk menafsirkan pengalaman dan mengarahkan tindakan.
Pengertian kebudayaan yang dimaksud mengacu pada pendekatan simbolik atau interpretatif yang dipelopori oleh Clifford Geertz. Pada tahun 1970-an pendekatan tersebut kemudian dikembangkan oleh para antropolog di Amerika Serikat. Pendekatan interpretatif melihat kebudayaan sebagai sistem konsepsi yang digunakan manusia untuk menafsirkan hidup dan menentukan sikap terhadapnya.
Namun sejak pertengahan dekade 1980-an, pendekatan interpretatif banyak dikritik oleh para antropolog lainnya, atau dalam istilah Ricoeur mengalami interpretasi kembali. Salah satu pengkritik teori interpretatif adalah Talal Asad, seorang antropolog Inggris yang menyatakan bahwa konsep kebudayaan interpre-tatif menggambarkan hubungan antara simbol-simbol budaya dan kehidupan sosial sebagai suatu “hubungan satu arah”. Simbol-simbol budaya menginformasikan, mempengaruhi dan membentuk kehidupan sosial. Dalam konsep tersebut, sama se-kali tidak ditunjukkan bagaimana nilai-nilai budaya dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman manusia sehari-hari, simbol-simbol budaya dilihat sebagai sesuatu yang sui generis (terbentuk dengan sendirinya atau the given).
Salah satu teori yang dinilai dapat mengisi kelemahan seperti itu adalah teori “praktek” (practice) yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, seorang antropolog. Teori praktek, muncul pada tahun 1980-an, menekankan “keterlibatan si subyek” dalam proses konstruksi budaya. Seperti diungkapkan oleh Asad, pendekatan interpretatif memiliki kelemahan karena tidak dijelaskannya posisi manusia sebagai “subyek” yang dapat ikut membentuk nilai-nilai budaya. Hal tersebut kemudian dijelaskan oleh Bourdieu yang mengatakan bahwa di antara manusia dan kebudayaannya terdapat suatu proses interaksi terus-menerus. Manusia mencoba mengolah dan mengkonstruksi simbol-simbol budaya demi “kepentingan”-nya dalam kondisi sosial, ekonomi, dan politik tertentu. Usaha-usaha manusia untuk mengkonstruksi simbol atau nilai budaya tersebut oleh Bourdieu praktek.
Hampir sama dengan interpretasi teks menurut Ricoeur, simbol-simbol maupun nilai-nilai yang terkandung dalam suatu kebudayaan menurut teori praktek selalu bersifat cair, dinamis, dan sementara, karena keberadaannya tergantung pada praktek para pelakunya yang berada pada konteks sosial tertentu, yang sudah barang tentu mempunyai kepentingan tertentu.
Implikasi lain dari pendekatan praktek seperti ini ialah, bahwa suatu kebudayaan hanya dapat terwujud dalam kaitannya dengan “subyek,” yaitu melalui prakteknya. Salah satu praktek yang sangat unik, karena secara langsung meng-konstruksi kebudayaan, adalah “wacana” (discourse). Wacana dalam pengertian Bourdieu adalah bentuk penuturan verbal yang berkaitan erat dengan kepentingan si penutur, berbeda dari “teks” yang merupakan penuturan verbal yang harus dilepas-kan dari posisi si penutur seperti dalam pengertian Ricoeur.
Eksplorasi atau interpretasi tiada henti dalam hermeneutika dan kebudayaan nampak pula dalam ilmu pengetahuan. Siklus ilmu pengetahuan yang digambarkan oleh Walter Wallace memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan juga bersifat temporal dalam hal kebenarannya. Selalu ada penyempurnaan bahkan penggalian teori baru dalam ilmu pengetahuan. Selalu ada dialektika dalam ilmu pengetahuan. Dalam hal ini penggalian teori-teori baru dihasilkan oleh manusia sebagai subjek ilmu pengetahuan.
Dengan demikian manusia sebagai subjek berada dalam sistem budaya dan manusia pula yang membentuk budaya tersebut melalui eksplorasi interpretasi yang tidak pernah selesai. Selalu ada interpretasi dan teori-teori baru dalam ilmu pengetahuan, terlepas dari penemuan teori-teori baru itu berjalan cepat atau lambat, formal atau informal, ditemukan oleh sekelompok komunitas ilmuwan atau individual, bahkan kadang-kadang dalam kenyataan sebenarnya atau hanya dalam imajinasi seorang ilmuwan saja.
Kaitan hermeneutika, kebudayaan baru, dan teori-teori baru dengan rencana penelitian disertasi penulis, nampaknya contoh yang diberikan Prof. Dr. Toety Heraty dalam perkuliahan mengenai lima kaidah estetika dan tiga persfektif estetika, serta sebuah kata pengantarnya mengenai “Keberhasilan dan Mutu” memberikan suatu tantangan penulis. Hal itu disebabkan bahwa penulis meren-canakan suatu tema disertasi mengenai sejarah artis, apakah artis di Indonesia yang muncul selalu ditopang oleh team work, promosi, dan sistem konsumsi sesuai dengan penjelasan Prof.Dr. Toety Heraty dalam kata pengantar mengenai “Keberhasilan dan Mutu”. Lalu bagaimana kaitannya dengan modal, serta perjuangan anak-anak muda untuk menjadi artis dengan melakukan perlawanan budaya terhadap kaum pemodal dalam industri hiburan (indie label dan underground). Demikian juga halnya dengan proses kreatif seorang seniman, struktur karya, dan pengalaman reseptif-apresiatif. Semua fenomena industri hiburan tersebut adalah teks yang nampaknya memerlukan suatu interpretasi baru, melalui teori-teori yang telah dan akan diberikan dalam mata kuliah ini, dengan demikian bisa saja muncul “makna baru” atau “fakta baru” “ walaupun dengan “data yang lama”.

Tidak ada komentar: